Kamis, 22 Januari 2015

Posted by Unknown on 19.13 in | No comments
ini tugas cerpen kelas 12. hasil ide moh.Riza S. , Alfian Ali, Lila Aryani, Arinda Anwaroh dan saya sendiri. 
Kutemukan Dia
Namaku Riza, Muhammad Riza tepatnya. Sekarang aku kuliah semester 8 di jurusan “pertanian” di kotaku, Kota Hujan. Saat ini aku sEdang sibuk mengerjakan tugas akhirku.  Yaps, apalagi kalau bukan tugas skripsi. Tugas yang merupakan momok paling menakutkan bagi  mahasiswa semester akhir, termasuk  aku.
Berminggu-minggu tak kunjung juga aku mendapat   judul yang tepat. Segala cara aku lakukan mulai dari konsultasi ke teman, ke dosen bahkan ke tukang  sapu  di  kampusku. Hingga   akhirnya kuputuskan  untuk   pergi  ke  perpustakaan.  Di perpustakaan  aku pun  tak  kunjung  mendapatkan  apa  yang aku inginkan.  Aku mulai  putus  asa  dan  memilih  duduk  di pojok  perpustakaan.  Tak lama kemudian aku melihat Arin datang  membawa  setumpuk  buku di tangannya, aku pun menyapanya.
“Hei Rin!” sapaku. Tak kukira secara spontan Arin menjawab sapaanku dengan melambaikan  tangannya.
                “Woi Za” teriaknya. Akibat lambaian tangannya itu, setumpuk buku di tangannya jatuh  berserakan. Aku pun tertawa melihat tingkah  temanku  itu, lalu aku  bergegas menghampirinya  dan  membantu mengambil buku-buku yang berserakan tadi.
“Wah banyak banget buku yang loe bawa?” tanyaku.
                “Loe tau sendirikan ini udah semester akhir, jadi tugas numpuk banget.” jawabnya.
“Eh Rin, ini buku apa?” aku tertarik pada buku tua yang sedang kupegang. Secara fisik memang terlihat tidak menarik tapi entah mengapa aku tertarik untuk tahu isi buku itu. Apalagi judul buku itu telah pudar tak terlihat membuatku semakin penasaran lagi.
                “Oh, ini buku sejarah dari Pak Mujarno. Judulnya……..eeeeeeee………e……..e.. anu……… eh….itu loh… e….. oh…oh… iya..iya “The Lost History,” jawab Arin.
 “Emang buat apa?” Tanya Arin.
“Buku ini mau aku buang,” ceplosku.
                “Eh,loe buang?” tanyanya.
“Ya enggaklah, ya mau gue baca!” jawabku.
“Okelah Silakan,” jawab Arin.
                Aku pun mulai membaca buku itu lembar demi lembar hingga kutemui lembaran dengan cetakan timbul berbentuk heksagonal dari logam. Benda itu terlihat sangat aneh di bagian tepinya terdapat tulisan-tulisan kuno terlebih lagi benda tersebut bisa berputar-putar. Ketika aku memutar benda itu untuk kesekian kalinya terdengar bunyi klik dari buku itu. Tapi yang lebih mengejutkan lantai perpustakaan mulai terasa bergetar, buku-buku mulai berjatuhan dan aku pun tak bisa mengendalikan diriku. Getaran itu bertambah besar, tak kusadari rak di sampingku ambruk menimpaku. Setelah itu aku merasa semuanya menjadi gelap.
                Setelah berulang kali aku mencoba membuka mata, tetapi tetap saja gagal. Aku pun terus berusaha dan untuk pertama kali aku membuka mata, perlahan seberkas cahaya langsung menyambut  kedua mataku. Dengan sekuat tenaga aku mencoba berdiri dan mengingat akan semua yang terjadi. Ketika aku tersadar, aku berada di antara keramaian orang yang saling menyerang. Aku pun langsung tiarap dan berteriak dengan keras.
“Tolong…tolong…. Saya takut!” Semua langsung berdiam dan mengamatiku. Lebih sialnya tiba-tiba hujan turun sangat deras. Semua orang langsung berlarian menuju bangunan yang menurutku mirip rumah adat Papua. Sedangkan aku hanya gelagapan dan kebingungan  harus kemana dan bagaimana. Lalu ada seorang berbadan besar berlari kearahku dan langsung membawaku ke suatu tempat. Yang ternyata tempat itu adalah kediaman kepala suku Sutera, sesampainya disana aku dipertemukan dengan kepala suku Sutera yang didampingi oleh penasehatnya.
“Hei Ali, siapa yang kaubawa?” Tanya kepala suku.
“Dia orang yang kutemukan ketika perang suku kita dengan suku Murai berlangsung.” Jawab Ali.
“Kau kelihatannya lapar nak, bagaimana kalau kita berbincang-bincang sambil menikmati hidangan? Kebetulan kami mengadakan pesta kemenangan perang.”  Ucap Raja padaku.
Aku pun mengiyakan ajakan Raja, karena kebetulan sebelum ke perpustakaan tadi aku belum makan apapun.
 “Hai Anak muda, bagaimana menurutmu tentang perang yang terjadi antara suku Sutera dengan suku Murai tadi?” Tanya Raja padaku, aku langsung gelagapan mendapat  pertanyaan itu, karena aku tak mengetahui apa yang terjadi.
“Itu yang Mulia, sejujurnya saya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi disini, Bisakah saya diberi tahu kebenaran disini?” Tanyaku sedikit gugup. Sang Raja pun menyuruh penasehatnya untuk menceritakan perihal perang tadi.
“Di desa ini dipisahkan oleh sebuah sungai menjadi dua wilayah, wilayah pertama adalah di sini yaitu yang didiami  suku Sutera, sedangkan wilayah yang lain ditempati suku Murai. Suku kami dan suku Murai memiliki mata pencaharian yang sama yaitu pertanian. Kami menanam tanaman yang membutuhkan air hujan yang banyak yaitu padi, sedangkan suku Murai menanam tanaman yang membutuhkan air yang sedikit yaitu tebu. Setiap kali kami mengadakan upacara untuk menurunkan hujan, suku Murai juga mengadakan upacara untuk menangkalnya. Ini selalu menjadi perbedaan suku kami, hingga kami memutuskan untuk berperang agar salah satu dari kami akan kalah dan pergi dari desa ini.” Jelas penasehat Raja Sutera yang juga memperkenalkan diri sebagai Ki Arya.
 Aku menghela nafas panjang, mulai tahu jalan pikiran penasehat ini, dari raut mukanya dia terlihat tak menyukai kedatanganku.
“Baiklah Raja, saya mulai paham dengan cerita di desa ini. Sebelumnya perkenalkan nama saya Riza, mahasiswa di jurusan pertanian kota Bogor. Saya sangat paham tentang pertanian dan menurut saya alasan kalian berperang itu sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kita seorang manusia menentukan kapan hujan atau tidak padahal itu sudah kehendak sang Pencipta. Kalian seharusnya sadar bahwa air itu datangnya tidak dari hujan tapi bisa juga dari sumur.” Jelasku dengan semangat.
Semua orang yang ada disana saling pandang dan Raja pun berbicara, “Apa itu mahasiswa? Lalu apa lagi itu sumur? Kami tak pernah mendengar itu semua.”
“Ya Allah ini apa sih?”pikirku.
 “Baiklah saya akan menjelaskan semuanya, mahasiswa itu adalah seseorang yang menuntut ilmu dari seseorang yang sudah sangat ahli dalam sesuatu, kalau sumur itu sumber air dari tanah yang digali dengan kedalaman tertentu.” Jelasku kesal.
Mendengar penjelasanku penasehat yang bernama Ki Arya mendekati Raja dan membisikkan sesuatu, namun aku masih mendengar dengan samar perkataan Ki Arya Kepada Raja bahwa aku dituduh hanya mengada-ada. Setelah itu aku langsung angkat bicara.
“Baiklah Raja kalau semua yang disini masih bingung aku meminta izin untuk mengadakan musyawarah antara suku Sutera dengan suku Murai, bagaimana?” Bujukku.
“Itu hanya menyebabkan perang, Nak. Percayalah padaku.” Jawab penasehat dengan wajah tak sukanya padaku.
“Saya yang akan mengurusi semua masalah musyawarah dan saya akan menjamin tidak akan terjadi hal seperti itu. Jika terjadi peperangan di musyawarah itu Raja boleh menghukumku.” Entah kenapa muncul keberanian yang konyol di mulutku padahal aku tidak mengenal siapa-siapa disini.
“Baiklah Nak, aku percayakan padamu, lagipula aku sebenarnya juga tak menyukai perang.”  jawab Raja.
“Tapi Raja…..” Ki Arya menyela namun dihentikan Raja.
“Saya akan mengurus semuanya segera dan sekarang saya mohon undur diri.” Pamitku.
                Aku pun segera bergegas menuju suku Murai, ternyata di suku Murai aku juga disambut sama baiknya dengan di suku Sutera. Setelah aku selesai berdiskusi di suku Murai aku memahami beberapa hal, yang pertama di suku Sutera aku melihat satu  orang yang tak menyukaiku  dan terang-terangan menolak usulanku yaitu  Ki Arya dan di suku  Murai aku juga menemukan orang yang sama yaitu Nyi Siti.  Aku mulai berpikir keras kenapa keduanya seperti itu. Waktu makin malam dan aku memilih tempat istirahat di antara kedua lahan pertanian kedua suku dan tidur di dekat sungai. Ketika malam telah larut aku belum juga bisa tidur, tapi tak sengaja kudengar ada orang yang sedang berbincang di tepi sungai yang seberang. Aku pun semakin mendekat dan mendengarkan apa yang sedang mereka perbincangkan, ternyata mereka membahas kedatanganku ke suku Murai dan suku Sutera. Aku semakin seksama mendengarkan dan dengan jelas membahas rencana jahat untuk secepat mungkin menghancurkan kedua suku, tapi sayangnya aku tak dapat mengenali kedua orang tadi, yang aku ketahui mereka laki-laki dan perempuan.
                Keesokan harinya musyawarah pun dilaksanakan aku menjelaskan apa yang sudah aku jelaskan kepada kedua suku dan akhirnya keduanya menyetujui untuk membuat sumur. Dan aku di tunjuk menjadi mandor proyek ini, disisi lain Ki Arya dan Nyi Siti  terlihat sangat marah. Setelah musyawarah aku langsung memimpin warga dari kedua suku untuk menggali tanah dimulai di wilayah Murai kemudian ke daerah Sutera. Dalam waktu seminggu kedua sumur telah jadi maka diadakanlah pesta bersama.
“Kita telah menyelesaikan sumber air kita, sebaiknya kita namai apa ya?”ungkap Raja Sutera.
“Oh iya juga, kita harus punya nama yang bagus untuk sejarah di desa kita, bagaimana menurutmu Za? kamukan pencetus semua ide ini.”  Jelas Raja Murai.
“Menurut saya bagaimana jika dinamakan “sumur” kepanjangan dari Sutera Murai.” Jawabku spontan karena memang di zamanku galian tadi adalah sumur.
“Baiklah mari kita makan untuk merayakan ini semua.” Ajak Raja.
                Seminggu setelah penggalian sumur, semua berjalan sesuai rencana dan perkiraanku, hujan turun tapi tebu tetap hidup dan kemarau datang tapi padi tetap mendapat air dari sumur, namun setelah 3 bulan berlalu entah kenapa tanaman di kedua suku mati semua. Aku begitu terkejut dan langsung menuju sawah, di sawah ternyata tanaman mati kering. Aku semakin bingung, kemudian melihat sumur di kedua suku dan tak kusangka sumur di kedua suku kering tak berair. Aku tak bisa memahami bagaimana bisa sumur kering padahal sungai di sampingnya masih mengalir dengan deras. Di dekat sumur aku menemukan sesajian, aku berpikir keras kenapa ada benda seperti ini disini dan siapa yang melakukanya. Maka aku membawa barang bukti tadi dan segera mengumpulkan kedua suku.
“Baiklah, saya mulai musyawarah ini. Saya tak mengerti kenapa semua ini terjadi.” Mulaiku.
“Bagaimana ini Za? Tanaman kita mati semua, kita mengalami paceklik semua karenamu, kamu harus tanggung jawab Za.” Teriak salah seorang Murai dan ditimpali semua yang hadir di musyawarah.
“Tenang,tenang! Saya telah menyiapkan kemungkinan terburuk dari ini semua, air kita sangat melimpah salah satunya di sungai, kita dapat mengalirkan air dari sungai dengan cara membuat jalur sungai kecil atau anak sungai ini di zaman saya disebut irigasi, bagaimana usul saya?” Tanyaku.
“Setuju!! Tapi Za kalau kita mengalami hal yang sama kamu harus di hukum.” Jelas seorang  warga sutera.
“Iya, aku mengerti. Aku sudah mendapat satu barang bukti siapa yang telah mengeringkan sumur.” Terangku pada semua. Dengan disetujuinya usulku musyawarah pun ditutup dan keesokan harinya proyek kedua dilaksanakan dan sukses. Aku mulai mengusut masalah sumur dengan membawa sesajian yang kutemukan ke suku Murai dan suku Sutera untuk kutanyakan siapa yang memiliki sesaji ini. Sangat mencengangkan ternyata yang biasa menggunakan sesaji adalah Ki Arya dan Nyi Siti tapi yang mana yang menjadi pelaku? Maka dengan diam-diam aku mempertemukan Raja Sutera dengan Raja Murai.
“Sebelumnya maaf mengganggu kesibukan paduka Raja, saya ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Langsung saja…...” aku menjelaskan semua yang aku alami tentang kecurigaanku pada Ki Arya dan Nyi Siti.
“Tidak mungkin, mereka adalah penasihat yang paling aku percaya!” Jawab Raja Sutera tak menyangka begitu juga Raja Murai yang telihat lebih syok.
“Baiklah jika kalian belum percaya, nanti malam adalah malam Jumat dimana kejadian aneh selalu terjadi di desa kita, nanti malam kalian ke dekat sungailah. Aku akan menunggu disana, kita akan membuktikan apa yang sering saya lihat.” Usulku.
“Baiklah, kami akan berangkat tanpa pengawal agar tidak ada yang curiga.” Jawab Raja Murai yang sudah mau angkat bicara.
                Malamnya kami berkumpul di dekat sungai di tempat biasa aku tidur, beberapa menit berlalu ternyata benar ada suara orang bercakap-cakap, kami pun mendengarkan dan mulai mendekat ke sumber suara. Ternyata benar itu adalah Ki Arya dan Nyi Siti sedang menebar sesuatu di sawah dan sungai, kami pun segera memergoki mereka dan menangkap mereka. Betapa kecewanya Raja ternyata kedua penasihat yang sangat dipercaya ternyata yang menyebabkan kedua suku berperang.
“Kalian sangat mengecewakan kami, kenapa kalian berkhianat padahal kami telah sangat baik pada kalian?” Tanya Raja Sutera.
“Ampuni kami Raja, sebenarnya kami berencana menguasai desa ini, kami ingin kalian pergi dari sini dengan membuat kalian saling serang, tapi malah Riza datang dan membuat kalian berdamai. Kami ingin melenyapkan Riza juga, jadi kami melakukan ini semua. Tapi kami sekarang menyesal, ampuni kami Raja.” Jelas Ki Arya.
“Tidak kalian akan tetap jadi penghianat, kalian harus pergi dari desa ini sekarang juga dan jangan pernah kembali.” Raja Murai dan Raja Sutera mengusir Ki Arya dan Nyi Siti. Akhirnya mereka  pergi dengan meminta maaf padaku lebih dulu.
                Keesokannya diadakan penggalian sumur baru dan penutupan sumur lama, diadakan kesepakatan akan diadakan penggalian sumur baru dan penutupan sumur lama setiap satu tahun sekali yang bertetapan dengan diusirnya Ki Arya dan Nyi Siti yang menandai penutupan masa lalu kedua suku yang saling serang dan membuka lembaran kekeluargaan di desa yang baru. Di tahun ketiga diadakan pesta panen raya karena hasil panen yang sangat melimpah, di tengah pesta Raja Murai dan Raja Sutera meminta perhatian semua warga.
“Mohon semua warga berkumpul disini, kami ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Desa kita mengalami kemajuan yang pesat dan panen melimpah di karenakan adanya sumur yang digali di desa kita dan kita ketahui sumur tersebut adalah jasa dari Riza, maka disini saya dan Raja Murai akan mengangkat Riza menjadi penasehat desa, dimohon Riza menuju kesini.” Kata Raja Sutera.
Aku pun mendekat ke kerumunan dan mendekat ke Raja Murai dan Raja Sutera. Raja pun mengalungkan bunga di leherku dan menyalamiku. Ketika Raja sutera memakaikan mahkota penasehat desa, aku memejamkan mata, aku menunggu mahkota itu menempel di kepalaku tapi tak juga kurasakan hingga ada sebuah tangan yang menepuk-nepukku, aku pun membuka  mata dan kaget bukan kepalang  ternyata aku ada di perpustakaan  baru  dibangunkan oleh penjaga perpustakaan karena perpustakaan akan tutup.
                Aku masih mengambang di antara yakin bahwa yang kualami tadi adalah sejarah pembuatan sumur atau hanya sebuah mimpi belaka, tapi yang terpenting dari mimpi yang kualami tadi adalah aku mendapatkan judul skripsiku, “Pola Irigasi Sawah Menggunakan Sumur pada Daerah Tandus.”
               
               
 Kutemukan Dia
Namaku Riza, Muhammad Riza tepatnya. Sekarang aku kuliah semester 8 di jurusan “pertanian” di kotaku, Kota Hujan. Saat ini aku sedang sibuk mengerjakan tugas akhirku.  Yaps, apalagi kalau bukan tugas skripsi. Tugas yang merupakan momok paling menakutkan bagi  mahasiswa semester akhir, termasuk  aku. Berminggu-minggu tak kunjung juga aku mendapat   judul yang tepat. Segala cara aku lakukan mulai dari konsultasi ke teman, ke dosen bahkan ke tukang  sapu  di  kampusku. Hingga   akhirnya kuputuskan  untuk   pergi  ke  perpustakaan.  Di perpustakaan  aku pun  tak  kunjung  mendapatkan  apa  yang aku inginkan.  Aku mulai  putus  asa  dan  memilih  duduk  di pojok  perpustakaan.  Tak lama kemudian aku melihat Arin datang  membawa  setumpuk  buku di tangannya, aku pun menyapanya.
“Hei Rin!” sapaku. Tak kukira secara spontan Arin menjawab sapaanku dengan melambaikan  tangannya.
                “Woi Za” teriaknya. Akibat lambaian tangannya itu, setumpuk buku di tangannya jatuh  berserakan. Aku pun tertawa melihat tingkah  temanku  itu, lalu aku  bergegas menghampirinya  dan  membantu mengambil buku-buku yang berserakan tadi.
“Wah banyak banget buku yang loe bawa?” tanyaku.
                “Loe tau sendirikan ini udah semester akhir, jadi tugas numpuk banget.” jawabnya.
“Eh Rin, ini buku apa?” aku tertarik pada buku tua yang sedang kupegang. Secara fisik memang terlihat tidak menarik tapi entah mengapa aku tertarik untuk tahu isi buku itu. Apalagi judul buku itu telah pudar tak terlihat membuatku semakin penasaran lagi.
                “Oh, ini buku sejarah dari Pak Mujarno. Judulnya……..eeeeeeee………e……..e.. anu……… eh….itu loh… e….. oh…oh… iya..iya “The Lost History,” jawab Arin.
 “Emang buat apa?” Tanya Arin.
“Buku ini mau aku buang,” ceplosku.
                “Eh,loe buang?” tanyanya.
“Ya enggaklah, ya mau gue baca!” jawabku.
“Okelah Silakan,” jawab Arin.
                Aku pun mulai membaca buku itu lembar demi lembar hingga kutemui lembaran dengan cetakan timbul berbentuk heksagonal dari logam. Benda itu terlihat sangat aneh di bagian tepinya terdapat tulisan-tulisan kuno terlebih lagi benda tersebut bisa berputar-putar. Ketika aku memutar benda itu untuk kesekian kalinya terdengar bunyi klik dari buku itu. Tapi yang lebih mengejutkan lantai perpustakaan mulai terasa bergetar, buku-buku mulai berjatuhan dan aku pun tak bisa mengendalikan diriku. Getaran itu bertambah besar, tak kusadari rak di sampingku ambruk menimpaku. Setelah itu aku merasa semuanya menjadi gelap.
                Setelah berulang kali aku mencoba membuka mata, tetapi tetap saja gagal. Aku pun terus berusaha dan untuk pertama kali aku membuka mata, perlahan seberkas cahaya langsung menyambut  kedua mataku. Dengan sekuat tenaga aku mencoba berdiri dan mengingat akan semua yang terjadi. Ketika aku tersadar, aku berada di antara keramaian orang yang saling menyerang. Aku pun langsung tiarap dan berteriak dengan keras.
“Tolong…tolong…. Saya takut!” Semua langsung berdiam dan mengamatiku. Lebih sialnya tiba-tiba hujan turun sangat deras. Semua orang langsung berlarian menuju bangunan yang menurutku mirip rumah adat Papua. Sedangkan aku hanya gelagapan dan kebingungan  harus kemana dan bagaimana. Lalu ada seorang berbadan besar berlari kearahku dan langsung membawaku ke suatu tempat. Yang ternyata tempat itu adalah kediaman kepala suku Sutera, sesampainya disana aku dipertemukan dengan kepala suku Sutera yang didampingi oleh penasehatnya.
“Hei Ali, siapa yang kaubawa?” Tanya kepala suku.
“Dia orang yang kutemukan ketika perang suku kita dengan suku Murai berlangsung.” Jawab Ali.
“Kau kelihatannya lapar nak, bagaimana kalau kita berbincang-bincang sambil menikmati hidangan? Kebetulan kami mengadakan pesta kemenangan perang.”  Ucap Raja padaku.
Aku pun mengiyakan ajakan Raja, karena kebetulan sebelum ke perpustakaan tadi aku belum makan apapun.
 “Hai Anak muda, bagaimana menurutmu tentang perang yang terjadi antara suku Sutera dengan suku Murai tadi?” Tanya Raja padaku, aku langsung gelagapan mendapat  pertanyaan itu, karena aku tak mengetahui apa yang terjadi.
“Itu yang Mulia, sejujurnya saya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi disini, Bisakah saya diberi tahu kebenaran disini?” Tanyaku sedikit gugup. Sang Raja pun menyuruh penasehatnya untuk menceritakan perihal perang tadi.
“Di desa ini dipisahkan oleh sebuah sungai menjadi dua wilayah, wilayah pertama adalah di sini yaitu yang didiami  suku Sutera, sedangkan wilayah yang lain ditempati suku Murai. Suku kami dan suku Murai memiliki mata pencaharian yang sama yaitu pertanian. Kami menanam tanaman yang membutuhkan air hujan yang banyak yaitu padi, sedangkan suku Murai menanam tanaman yang membutuhkan air yang sedikit yaitu tebu. Setiap kali kami mengadakan upacara untuk menurunkan hujan, suku Murai juga mengadakan upacara untuk menangkalnya. Ini selalu menjadi perbedaan suku kami, hingga kami memutuskan untuk berperang agar salah satu dari kami akan kalah dan pergi dari desa ini.” Jelas penasehat Raja Sutera yang juga memperkenalkan diri sebagai Ki Arya.
 Aku menghela nafas panjang, mulai tahu jalan pikiran penasehat ini, dari raut mukanya dia terlihat tak menyukai kedatanganku.
“Baiklah Raja, saya mulai paham dengan cerita di desa ini. Sebelumnya perkenalkan nama saya Riza, mahasiswa di jurusan pertanian kota Bogor. Saya sangat paham tentang pertanian dan menurut saya alasan kalian berperang itu sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kita seorang manusia menentukan kapan hujan atau tidak padahal itu sudah kehendak sang Pencipta. Kalian seharusnya sadar bahwa air itu datangnya tidak dari hujan tapi bisa juga dari sumur.” Jelasku dengan semangat.
Semua orang yang ada disana saling pandang dan Raja pun berbicara, “Apa itu mahasiswa? Lalu apa lagi itu sumur? Kami tak pernah mendengar itu semua.”
“Ya Allah ini apa sih?”pikirku.
 “Baiklah saya akan menjelaskan semuanya, mahasiswa itu adalah seseorang yang menuntut ilmu dari seseorang yang sudah sangat ahli dalam sesuatu, kalau sumur itu sumber air dari tanah yang digali dengan kedalaman tertentu.” Jelasku kesal.
Mendengar penjelasanku penasehat yang bernama Ki Arya mendekati Raja dan membisikkan sesuatu, namun aku masih mendengar dengan samar perkataan Ki Arya Kepada Raja bahwa aku dituduh hanya mengada-ada. Setelah itu aku langsung angkat bicara.
“Baiklah Raja kalau semua yang disini masih bingung aku meminta izin untuk mengadakan musyawarah antara suku Sutera dengan suku Murai, bagaimana?” Bujukku.
“Itu hanya menyebabkan perang, Nak. Percayalah padaku.” Jawab penasehat dengan wajah tak sukanya padaku.
“Saya yang akan mengurusi semua masalah musyawarah dan saya akan menjamin tidak akan terjadi hal seperti itu. Jika terjadi peperangan di musyawarah itu Raja boleh menghukumku.” Entah kenapa muncul keberanian yang konyol di mulutku padahal aku tidak mengenal siapa-siapa disini.
“Baiklah Nak, aku percayakan padamu, lagipula aku sebenarnya juga tak menyukai perang.”  jawab Raja.
“Tapi Raja…..” Ki Arya menyela namun dihentikan Raja.
“Saya akan mengurus semuanya segera dan sekarang saya mohon undur diri.” Pamitku.
                Aku pun segera bergegas menuju suku Murai, ternyata di suku Murai aku juga disambut sama baiknya dengan di suku Sutera. Setelah aku selesai berdiskusi di suku Murai aku memahami beberapa hal, yang pertama di suku Sutera aku melihat satu  orang yang tak menyukaiku  dan terang-terangan menolak usulanku yaitu  Ki Arya dan di suku  Murai aku juga menemukan orang yang sama yaitu Nyi Siti.  Aku mulai berpikir keras kenapa keduanya seperti itu. Waktu makin malam dan aku memilih tempat istirahat di antara kedua lahan pertanian kedua suku dan tidur di dekat sungai. Ketika malam telah larut aku belum juga bisa tidur, tapi tak sengaja kudengar ada orang yang sedang berbincang di tepi sungai yang seberang. Aku pun semakin mendekat dan mendengarkan apa yang sedang mereka perbincangkan, ternyata mereka membahas kedatanganku ke suku Murai dan suku Sutera. Aku semakin seksama mendengarkan dan dengan jelas membahas rencana jahat untuk secepat mungkin menghancurkan kedua suku, tapi sayangnya aku tak dapat mengenali kedua orang tadi, yang aku ketahui mereka laki-laki dan perempuan.
                Keesokan harinya musyawarah pun dilaksanakan aku menjelaskan apa yang sudah aku jelaskan kepada kedua suku dan akhirnya keduanya menyetujui untuk membuat sumur. Dan aku di tunjuk menjadi mandor proyek ini, disisi lain Ki Arya dan Nyi Siti  terlihat sangat marah. Setelah musyawarah aku langsung memimpin warga dari kedua suku untuk menggali tanah dimulai di wilayah Murai kemudian ke daerah Sutera. Dalam waktu seminggu kedua sumur telah jadi maka diadakanlah pesta bersama.
“Kita telah menyelesaikan sumber air kita, sebaiknya kita namai apa ya?”ungkap Raja Sutera.
“Oh iya juga, kita harus punya nama yang bagus untuk sejarah di desa kita, bagaimana menurutmu Za? kamukan pencetus semua ide ini.”  Jelas Raja Murai.
“Menurut saya bagaimana jika dinamakan “sumur” kepanjangan dari Sutera Murai.” Jawabku spontan karena memang di zamanku galian tadi adalah sumur.
“Baiklah mari kita makan untuk merayakan ini semua.” Ajak Raja.
                Seminggu setelah penggalian sumur, semua berjalan sesuai rencana dan perkiraanku, hujan turun tapi tebu tetap hidup dan kemarau datang tapi padi tetap mendapat air dari sumur, namun setelah 3 bulan berlalu entah kenapa tanaman di kedua suku mati semua. Aku begitu terkejut dan langsung menuju sawah, di sawah ternyata tanaman mati kering. Aku semakin bingung, kemudian melihat sumur di kedua suku dan tak kusangka sumur di kedua suku kering tak berair. Aku tak bisa memahami bagaimana bisa sumur kering padahal sungai di sampingnya masih mengalir dengan deras. Di dekat sumur aku menemukan sesajian, aku berpikir keras kenapa ada benda seperti ini disini dan siapa yang melakukanya. Maka aku membawa barang bukti tadi dan segera mengumpulkan kedua suku.
“Baiklah, saya mulai musyawarah ini. Saya tak mengerti kenapa semua ini terjadi.” Mulaiku.
“Bagaimana ini Za? Tanaman kita mati semua, kita mengalami paceklik semua karenamu, kamu harus tanggung jawab Za.” Teriak salah seorang Murai dan ditimpali semua yang hadir di musyawarah.
“Tenang,tenang! Saya telah menyiapkan kemungkinan terburuk dari ini semua, air kita sangat melimpah salah satunya di sungai, kita dapat mengalirkan air dari sungai dengan cara membuat jalur sungai kecil atau anak sungai ini di zaman saya disebut irigasi, bagaimana usul saya?” Tanyaku.
“Setuju!! Tapi Za kalau kita mengalami hal yang sama kamu harus di hukum.” Jelas seorang  warga sutera.
“Iya, aku mengerti. Aku sudah mendapat satu barang bukti siapa yang telah mengeringkan sumur.” Terangku pada semua. Dengan disetujuinya usulku musyawarah pun ditutup dan keesokan harinya proyek kedua dilaksanakan dan sukses. Aku mulai mengusut masalah sumur dengan membawa sesajian yang kutemukan ke suku Murai dan suku Sutera untuk kutanyakan siapa yang memiliki sesaji ini. Sangat mencengangkan ternyata yang biasa menggunakan sesaji adalah Ki Arya dan Nyi Siti tapi yang mana yang menjadi pelaku? Maka dengan diam-diam aku mempertemukan Raja Sutera dengan Raja Murai.
“Sebelumnya maaf mengganggu kesibukan paduka Raja, saya ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Langsung saja…...” aku menjelaskan semua yang aku alami tentang kecurigaanku pada Ki Arya dan Nyi Siti.
“Tidak mungkin, mereka adalah penasihat yang paling aku percaya!” Jawab Raja Sutera tak menyangka begitu juga Raja Murai yang telihat lebih syok.
“Baiklah jika kalian belum percaya, nanti malam adalah malam Jumat dimana kejadian aneh selalu terjadi di desa kita, nanti malam kalian ke dekat sungailah. Aku akan menunggu disana, kita akan membuktikan apa yang sering saya lihat.” Usulku.
“Baiklah, kami akan berangkat tanpa pengawal agar tidak ada yang curiga.” Jawab Raja Murai yang sudah mau angkat bicara.
                Malamnya kami berkumpul di dekat sungai di tempat biasa aku tidur, beberapa menit berlalu ternyata benar ada suara orang bercakap-cakap, kami pun mendengarkan dan mulai mendekat ke sumber suara. Ternyata benar itu adalah Ki Arya dan Nyi Siti sedang menebar sesuatu di sawah dan sungai, kami pun segera memergoki mereka dan menangkap mereka. Betapa kecewanya Raja ternyata kedua penasihat yang sangat dipercaya ternyata yang menyebabkan kedua suku berperang.
“Kalian sangat mengecewakan kami, kenapa kalian berkhianat padahal kami telah sangat baik pada kalian?” Tanya Raja Sutera.
“Ampuni kami Raja, sebenarnya kami berencana menguasai desa ini, kami ingin kalian pergi dari sini dengan membuat kalian saling serang, tapi malah Riza datang dan membuat kalian berdamai. Kami ingin melenyapkan Riza juga, jadi kami melakukan ini semua. Tapi kami sekarang menyesal, ampuni kami Raja.” Jelas Ki Arya.
“Tidak kalian akan tetap jadi penghianat, kalian harus pergi dari desa ini sekarang juga dan jangan pernah kembali.” Raja Murai dan Raja Sutera mengusir Ki Arya dan Nyi Siti. Akhirnya mereka  pergi dengan meminta maaf padaku lebih dulu.
                Keesokannya diadakan penggalian sumur baru dan penutupan sumur lama, diadakan kesepakatan akan diadakan penggalian sumur baru dan penutupan sumur lama setiap satu tahun sekali yang bertetapan dengan diusirnya Ki Arya dan Nyi Siti yang menandai penutupan masa lalu kedua suku yang saling serang dan membuka lembaran kekeluargaan di desa yang baru. Di tahun ketiga diadakan pesta panen raya karena hasil panen yang sangat melimpah, di tengah pesta Raja Murai dan Raja Sutera meminta perhatian semua warga.
“Mohon semua warga berkumpul disini, kami ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Desa kita mengalami kemajuan yang pesat dan panen melimpah di karenakan adanya sumur yang digali di desa kita dan kita ketahui sumur tersebut adalah jasa dari Riza, maka disini saya dan Raja Murai akan mengangkat Riza menjadi penasehat desa, dimohon Riza menuju kesini.” Kata Raja Sutera.
Aku pun mendekat ke kerumunan dan mendekat ke Raja Murai dan Raja Sutera. Raja pun mengalungkan bunga di leherku dan menyalamiku. Ketika Raja sutera memakaikan mahkota penasehat desa, aku memejamkan mata, aku menunggu mahkota itu menempel di kepalaku tapi tak juga kurasakan hingga ada sebuah tangan yang menepuk-nepukku, aku pun membuka  mata dan kaget bukan kepalang  ternyata aku ada di perpustakaan  baru  dibangunkan oleh penjaga perpustakaan karena perpustakaan akan tutup.
                Aku masih mengambang di antara yakin bahwa yang kualami tadi adalah sejarah pembuatan sumur atau hanya sebuah mimpi belaka, tapi yang terpenting dari mimpi yang kualami tadi adalah aku mendapatkan judul skripsiku, “Pola Irigasi Sawah Menggunakan Sumur pada Daerah Tandus.”
               
               

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Search Our Site

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter