ini tugas cerpen kelas 12. hasil ide moh.Riza S. , Alfian Ali, Lila Aryani, Arinda Anwaroh dan saya sendiri.
Kutemukan Dia
Kutemukan Dia
Namaku
Riza, Muhammad Riza tepatnya. Sekarang aku kuliah semester 8 di jurusan
“pertanian” di kotaku, Kota Hujan. Saat ini aku sEdang sibuk mengerjakan tugas
akhirku. Yaps, apalagi kalau bukan tugas
skripsi. Tugas yang merupakan momok paling menakutkan bagi mahasiswa semester akhir, termasuk aku.
Berminggu-minggu tak kunjung juga aku mendapat judul yang tepat. Segala cara aku lakukan mulai dari konsultasi ke teman, ke dosen bahkan ke tukang sapu di kampusku. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke perpustakaan. Di perpustakaan aku pun tak kunjung mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku mulai putus asa dan memilih duduk di pojok perpustakaan. Tak lama kemudian aku melihat Arin datang membawa setumpuk buku di tangannya, aku pun menyapanya.
Berminggu-minggu tak kunjung juga aku mendapat judul yang tepat. Segala cara aku lakukan mulai dari konsultasi ke teman, ke dosen bahkan ke tukang sapu di kampusku. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke perpustakaan. Di perpustakaan aku pun tak kunjung mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku mulai putus asa dan memilih duduk di pojok perpustakaan. Tak lama kemudian aku melihat Arin datang membawa setumpuk buku di tangannya, aku pun menyapanya.
“Hei
Rin!” sapaku. Tak kukira secara spontan Arin menjawab sapaanku dengan
melambaikan tangannya.
“Woi
Za” teriaknya. Akibat lambaian tangannya itu, setumpuk buku di tangannya jatuh berserakan. Aku pun tertawa melihat tingkah temanku itu, lalu aku bergegas menghampirinya dan membantu mengambil buku-buku yang berserakan
tadi.
“Wah
banyak banget buku yang loe bawa?” tanyaku.
“Loe
tau sendirikan ini udah semester akhir, jadi tugas numpuk banget.” jawabnya.
“Eh
Rin, ini buku apa?” aku tertarik pada buku tua yang sedang kupegang. Secara
fisik memang terlihat tidak menarik tapi entah mengapa aku tertarik untuk tahu
isi buku itu. Apalagi judul buku itu telah pudar tak terlihat membuatku semakin
penasaran lagi.
“Oh,
ini buku sejarah dari Pak Mujarno. Judulnya……..eeeeeeee………e……..e.. anu………
eh….itu loh… e….. oh…oh… iya..iya “The Lost History,” jawab Arin.
“Emang buat apa?” Tanya Arin.
“Buku
ini mau aku buang,” ceplosku.
“Eh,loe
buang?” tanyanya.
“Ya
enggaklah, ya mau gue baca!” jawabku.
“Okelah
Silakan,” jawab Arin.
Aku pun mulai membaca buku itu
lembar demi lembar hingga kutemui lembaran dengan cetakan timbul berbentuk
heksagonal dari logam. Benda itu terlihat sangat aneh di bagian tepinya
terdapat tulisan-tulisan kuno terlebih lagi benda tersebut bisa berputar-putar.
Ketika aku memutar benda itu untuk kesekian kalinya terdengar bunyi klik dari
buku itu. Tapi yang lebih mengejutkan lantai perpustakaan mulai terasa bergetar,
buku-buku mulai berjatuhan dan aku pun tak bisa mengendalikan diriku. Getaran
itu bertambah besar, tak kusadari rak di sampingku ambruk menimpaku. Setelah
itu aku merasa semuanya menjadi gelap.
Setelah berulang kali aku
mencoba membuka mata, tetapi tetap saja gagal. Aku pun terus berusaha dan untuk
pertama kali aku membuka mata, perlahan seberkas cahaya langsung menyambut kedua mataku. Dengan sekuat tenaga aku mencoba
berdiri dan mengingat akan semua yang terjadi. Ketika aku tersadar, aku berada
di antara keramaian orang yang saling menyerang. Aku pun langsung tiarap dan
berteriak dengan keras.
“Tolong…tolong….
Saya takut!” Semua langsung berdiam dan mengamatiku. Lebih sialnya tiba-tiba
hujan turun sangat deras. Semua orang langsung berlarian menuju bangunan yang
menurutku mirip rumah adat Papua. Sedangkan aku hanya gelagapan dan kebingungan
harus kemana dan bagaimana. Lalu ada
seorang berbadan besar berlari kearahku dan langsung membawaku ke suatu tempat.
Yang ternyata tempat itu adalah kediaman kepala suku Sutera, sesampainya disana
aku dipertemukan dengan kepala suku Sutera yang didampingi oleh penasehatnya.
“Hei
Ali, siapa yang kaubawa?” Tanya kepala suku.
“Dia
orang yang kutemukan ketika perang suku kita dengan suku Murai berlangsung.”
Jawab Ali.
“Kau
kelihatannya lapar nak, bagaimana kalau kita berbincang-bincang sambil
menikmati hidangan? Kebetulan kami mengadakan pesta kemenangan perang.” Ucap Raja padaku.
Aku
pun mengiyakan ajakan Raja, karena kebetulan sebelum ke perpustakaan tadi aku
belum makan apapun.
“Hai Anak muda, bagaimana menurutmu tentang
perang yang terjadi antara suku Sutera dengan suku Murai tadi?” Tanya Raja
padaku, aku langsung gelagapan mendapat
pertanyaan itu, karena aku tak mengetahui apa yang terjadi.
“Itu
yang Mulia, sejujurnya saya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi
disini, Bisakah saya diberi tahu kebenaran disini?” Tanyaku sedikit gugup. Sang
Raja pun menyuruh penasehatnya untuk menceritakan perihal perang tadi.
“Di
desa ini dipisahkan oleh sebuah sungai menjadi dua wilayah, wilayah pertama
adalah di sini yaitu yang didiami suku
Sutera, sedangkan wilayah yang lain ditempati suku Murai. Suku kami dan suku
Murai memiliki mata pencaharian yang sama yaitu pertanian. Kami menanam tanaman
yang membutuhkan air hujan yang banyak yaitu padi, sedangkan suku Murai menanam
tanaman yang membutuhkan air yang sedikit yaitu tebu. Setiap kali kami
mengadakan upacara untuk menurunkan hujan, suku Murai juga mengadakan upacara
untuk menangkalnya. Ini selalu menjadi perbedaan suku kami, hingga kami
memutuskan untuk berperang agar salah satu dari kami akan kalah dan pergi dari
desa ini.” Jelas penasehat Raja Sutera yang juga memperkenalkan diri sebagai Ki
Arya.
Aku menghela nafas panjang, mulai tahu jalan pikiran
penasehat ini, dari raut mukanya dia terlihat tak menyukai kedatanganku.
“Baiklah
Raja, saya mulai paham dengan cerita di desa ini. Sebelumnya perkenalkan nama
saya Riza, mahasiswa di jurusan pertanian kota Bogor. Saya sangat paham tentang
pertanian dan menurut saya alasan kalian berperang itu sangat tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin kita seorang manusia menentukan kapan hujan atau tidak
padahal itu sudah kehendak sang Pencipta. Kalian seharusnya sadar bahwa air itu
datangnya tidak dari hujan tapi bisa juga dari sumur.” Jelasku dengan semangat.
Semua
orang yang ada disana saling pandang dan Raja pun berbicara, “Apa itu
mahasiswa? Lalu apa lagi itu sumur? Kami tak pernah mendengar itu semua.”
“Ya
Allah ini apa sih?”pikirku.
“Baiklah saya akan menjelaskan semuanya, mahasiswa
itu adalah seseorang yang menuntut ilmu dari seseorang yang sudah sangat ahli
dalam sesuatu, kalau sumur itu sumber air dari tanah yang digali dengan
kedalaman tertentu.” Jelasku kesal.
Mendengar
penjelasanku penasehat yang bernama Ki Arya mendekati Raja dan membisikkan
sesuatu, namun aku masih mendengar dengan samar perkataan Ki Arya Kepada Raja
bahwa aku dituduh hanya mengada-ada. Setelah itu aku langsung angkat bicara.
“Baiklah
Raja kalau semua yang disini masih bingung aku meminta izin untuk mengadakan
musyawarah antara suku Sutera dengan suku Murai, bagaimana?” Bujukku.
“Itu
hanya menyebabkan perang, Nak. Percayalah padaku.” Jawab penasehat dengan wajah
tak sukanya padaku.
“Saya
yang akan mengurusi semua masalah musyawarah dan saya akan menjamin tidak akan
terjadi hal seperti itu. Jika terjadi peperangan di musyawarah itu Raja boleh
menghukumku.” Entah kenapa muncul keberanian yang konyol di mulutku padahal aku
tidak mengenal siapa-siapa disini.
“Baiklah
Nak, aku percayakan padamu, lagipula aku sebenarnya juga tak menyukai perang.” jawab Raja.
“Tapi
Raja…..” Ki Arya menyela namun dihentikan Raja.
“Saya
akan mengurus semuanya segera dan sekarang saya mohon undur diri.” Pamitku.
Aku pun segera bergegas menuju suku
Murai, ternyata di suku Murai aku juga disambut sama baiknya dengan di suku
Sutera. Setelah aku selesai berdiskusi di suku Murai aku memahami beberapa hal,
yang pertama di suku Sutera aku melihat satu orang yang tak menyukaiku dan terang-terangan menolak usulanku yaitu Ki Arya dan di suku Murai aku juga menemukan orang yang sama
yaitu Nyi Siti. Aku mulai berpikir keras
kenapa keduanya seperti itu. Waktu makin malam dan aku memilih tempat istirahat
di antara kedua lahan pertanian kedua suku dan tidur di dekat sungai. Ketika
malam telah larut aku belum juga bisa tidur, tapi tak sengaja kudengar ada orang
yang sedang berbincang di tepi sungai yang seberang. Aku pun semakin mendekat
dan mendengarkan apa yang sedang mereka perbincangkan, ternyata mereka membahas
kedatanganku ke suku Murai dan suku Sutera. Aku semakin seksama mendengarkan
dan dengan jelas membahas rencana jahat untuk secepat mungkin menghancurkan
kedua suku, tapi sayangnya aku tak dapat mengenali kedua orang tadi, yang aku
ketahui mereka laki-laki dan perempuan.
Keesokan harinya musyawarah pun
dilaksanakan aku menjelaskan apa yang sudah aku jelaskan kepada kedua suku dan
akhirnya keduanya menyetujui untuk membuat sumur. Dan aku di tunjuk menjadi
mandor proyek ini, disisi lain Ki Arya dan Nyi Siti terlihat sangat marah. Setelah musyawarah aku
langsung memimpin warga dari kedua suku untuk menggali tanah dimulai di wilayah
Murai kemudian ke daerah Sutera. Dalam waktu seminggu kedua sumur telah jadi
maka diadakanlah pesta bersama.
“Kita
telah menyelesaikan sumber air kita, sebaiknya kita namai apa ya?”ungkap Raja Sutera.
“Oh
iya juga, kita harus punya nama yang bagus untuk sejarah di desa kita,
bagaimana menurutmu Za? kamukan pencetus semua ide ini.” Jelas Raja Murai.
“Menurut
saya bagaimana jika dinamakan “sumur” kepanjangan dari Sutera Murai.” Jawabku
spontan karena memang di zamanku galian tadi adalah sumur.
“Baiklah
mari kita makan untuk merayakan ini semua.” Ajak Raja.
Seminggu setelah penggalian
sumur, semua berjalan sesuai rencana dan perkiraanku, hujan turun tapi tebu
tetap hidup dan kemarau datang tapi padi tetap mendapat air dari sumur, namun setelah
3 bulan berlalu entah kenapa tanaman di kedua suku mati semua. Aku begitu
terkejut dan langsung menuju sawah, di sawah ternyata tanaman mati kering. Aku
semakin bingung, kemudian melihat sumur di kedua suku dan tak kusangka sumur di
kedua suku kering tak berair. Aku tak bisa memahami bagaimana bisa sumur kering
padahal sungai di sampingnya masih mengalir dengan deras. Di dekat sumur aku
menemukan sesajian, aku berpikir keras kenapa ada benda seperti ini disini dan
siapa yang melakukanya. Maka aku membawa barang bukti tadi dan segera
mengumpulkan kedua suku.
“Baiklah,
saya mulai musyawarah ini. Saya tak mengerti kenapa semua ini terjadi.” Mulaiku.
“Bagaimana
ini Za? Tanaman kita mati semua, kita mengalami paceklik semua karenamu, kamu
harus tanggung jawab Za.” Teriak salah seorang Murai dan ditimpali semua yang
hadir di musyawarah.
“Tenang,tenang!
Saya telah menyiapkan kemungkinan terburuk dari ini semua, air kita sangat
melimpah salah satunya di sungai, kita dapat mengalirkan air dari sungai dengan
cara membuat jalur sungai kecil atau anak sungai ini di zaman saya disebut
irigasi, bagaimana usul saya?” Tanyaku.
“Setuju!!
Tapi Za kalau kita mengalami hal yang sama kamu harus di hukum.” Jelas
seorang warga sutera.
“Iya,
aku mengerti. Aku sudah mendapat satu barang bukti siapa yang telah
mengeringkan sumur.” Terangku pada semua. Dengan disetujuinya usulku musyawarah
pun ditutup dan keesokan harinya proyek kedua dilaksanakan dan sukses. Aku
mulai mengusut masalah sumur dengan membawa sesajian yang kutemukan ke suku
Murai dan suku Sutera untuk kutanyakan siapa yang memiliki sesaji ini. Sangat
mencengangkan ternyata yang biasa menggunakan sesaji adalah Ki Arya dan Nyi
Siti tapi yang mana yang menjadi pelaku? Maka dengan diam-diam aku
mempertemukan Raja Sutera dengan Raja Murai.
“Sebelumnya
maaf mengganggu kesibukan paduka Raja, saya ingin menyampaikan sesuatu yang
sangat penting. Langsung saja…...” aku menjelaskan semua yang aku alami tentang
kecurigaanku pada Ki Arya dan Nyi Siti.
“Tidak
mungkin, mereka adalah penasihat yang paling aku percaya!” Jawab Raja Sutera
tak menyangka begitu juga Raja Murai yang telihat lebih syok.
“Baiklah
jika kalian belum percaya, nanti malam adalah malam Jumat dimana kejadian aneh
selalu terjadi di desa kita, nanti malam kalian ke dekat sungailah. Aku akan
menunggu disana, kita akan membuktikan apa yang sering saya lihat.” Usulku.
“Baiklah,
kami akan berangkat tanpa pengawal agar tidak ada yang curiga.” Jawab Raja Murai
yang sudah mau angkat bicara.
Malamnya kami berkumpul di dekat
sungai di tempat biasa aku tidur, beberapa menit berlalu ternyata benar ada
suara orang bercakap-cakap, kami pun mendengarkan dan mulai mendekat ke sumber
suara. Ternyata benar itu adalah Ki Arya dan Nyi Siti sedang menebar sesuatu di
sawah dan sungai, kami pun segera memergoki mereka dan menangkap mereka. Betapa
kecewanya Raja ternyata kedua penasihat yang sangat dipercaya ternyata yang
menyebabkan kedua suku berperang.
“Kalian
sangat mengecewakan kami, kenapa kalian berkhianat padahal kami telah sangat
baik pada kalian?” Tanya Raja Sutera.
“Ampuni
kami Raja, sebenarnya kami berencana menguasai desa ini, kami ingin kalian
pergi dari sini dengan membuat kalian saling serang, tapi malah Riza datang dan
membuat kalian berdamai. Kami ingin melenyapkan Riza juga, jadi kami melakukan
ini semua. Tapi kami sekarang menyesal, ampuni kami Raja.” Jelas Ki Arya.
“Tidak
kalian akan tetap jadi penghianat, kalian harus pergi dari desa ini sekarang
juga dan jangan pernah kembali.” Raja Murai dan Raja Sutera mengusir Ki Arya
dan Nyi Siti. Akhirnya mereka pergi
dengan meminta maaf padaku lebih dulu.
Keesokannya diadakan penggalian
sumur baru dan penutupan sumur lama, diadakan kesepakatan akan diadakan
penggalian sumur baru dan penutupan sumur lama setiap satu tahun sekali yang
bertetapan dengan diusirnya Ki Arya dan Nyi Siti yang menandai penutupan masa
lalu kedua suku yang saling serang dan membuka lembaran kekeluargaan di desa
yang baru. Di tahun ketiga diadakan pesta panen raya karena hasil panen yang
sangat melimpah, di tengah pesta Raja Murai dan Raja Sutera meminta perhatian
semua warga.
“Mohon
semua warga berkumpul disini, kami ingin menyampaikan sesuatu yang sangat
penting. Desa kita mengalami kemajuan yang pesat dan panen melimpah di karenakan
adanya sumur yang digali di desa kita dan kita ketahui sumur tersebut adalah
jasa dari Riza, maka disini saya dan Raja Murai akan mengangkat Riza menjadi
penasehat desa, dimohon Riza menuju kesini.” Kata Raja Sutera.
Aku
pun mendekat ke kerumunan dan mendekat ke Raja Murai dan Raja Sutera. Raja pun
mengalungkan bunga di leherku dan menyalamiku. Ketika Raja sutera memakaikan
mahkota penasehat desa, aku memejamkan mata, aku menunggu mahkota itu menempel
di kepalaku tapi tak juga kurasakan hingga ada sebuah tangan yang
menepuk-nepukku, aku pun membuka mata
dan kaget bukan kepalang ternyata aku
ada di perpustakaan baru dibangunkan oleh penjaga perpustakaan karena
perpustakaan akan tutup.
Aku masih mengambang di antara
yakin bahwa yang kualami tadi adalah sejarah pembuatan sumur atau hanya sebuah
mimpi belaka, tapi yang terpenting dari mimpi yang kualami tadi adalah aku
mendapatkan judul skripsiku, “Pola Irigasi Sawah Menggunakan Sumur pada Daerah
Tandus.”
Namaku
Riza, Muhammad Riza tepatnya. Sekarang aku kuliah semester 8 di jurusan
“pertanian” di kotaku, Kota Hujan. Saat ini aku sedang sibuk mengerjakan tugas
akhirku. Yaps, apalagi kalau bukan tugas
skripsi. Tugas yang merupakan momok paling menakutkan bagi mahasiswa semester akhir, termasuk aku. Berminggu-minggu tak kunjung juga aku mendapat judul yang tepat. Segala cara aku lakukan
mulai dari konsultasi ke teman, ke dosen bahkan ke tukang sapu di
kampusku. Hingga akhirnya kuputuskan untuk
pergi ke perpustakaan. Di perpustakaan aku pun tak kunjung mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku mulai putus asa
dan memilih duduk di
pojok perpustakaan. Tak lama kemudian aku melihat Arin datang membawa setumpuk buku di tangannya, aku pun menyapanya.
“Hei
Rin!” sapaku. Tak kukira secara spontan Arin menjawab sapaanku dengan
melambaikan tangannya.
“Woi
Za” teriaknya. Akibat lambaian tangannya itu, setumpuk buku di tangannya jatuh berserakan. Aku pun tertawa melihat tingkah temanku itu, lalu aku bergegas menghampirinya dan membantu mengambil buku-buku yang berserakan
tadi.
“Wah
banyak banget buku yang loe bawa?” tanyaku.
“Loe
tau sendirikan ini udah semester akhir, jadi tugas numpuk banget.” jawabnya.
“Eh
Rin, ini buku apa?” aku tertarik pada buku tua yang sedang kupegang. Secara
fisik memang terlihat tidak menarik tapi entah mengapa aku tertarik untuk tahu
isi buku itu. Apalagi judul buku itu telah pudar tak terlihat membuatku semakin
penasaran lagi.
“Oh,
ini buku sejarah dari Pak Mujarno. Judulnya……..eeeeeeee………e……..e.. anu………
eh….itu loh… e….. oh…oh… iya..iya “The Lost History,” jawab Arin.
“Emang buat apa?” Tanya Arin.
“Buku
ini mau aku buang,” ceplosku.
“Eh,loe
buang?” tanyanya.
“Ya
enggaklah, ya mau gue baca!” jawabku.
“Okelah
Silakan,” jawab Arin.
Aku pun mulai membaca buku itu
lembar demi lembar hingga kutemui lembaran dengan cetakan timbul berbentuk
heksagonal dari logam. Benda itu terlihat sangat aneh di bagian tepinya
terdapat tulisan-tulisan kuno terlebih lagi benda tersebut bisa berputar-putar.
Ketika aku memutar benda itu untuk kesekian kalinya terdengar bunyi klik dari
buku itu. Tapi yang lebih mengejutkan lantai perpustakaan mulai terasa bergetar,
buku-buku mulai berjatuhan dan aku pun tak bisa mengendalikan diriku. Getaran
itu bertambah besar, tak kusadari rak di sampingku ambruk menimpaku. Setelah
itu aku merasa semuanya menjadi gelap.
Setelah berulang kali aku
mencoba membuka mata, tetapi tetap saja gagal. Aku pun terus berusaha dan untuk
pertama kali aku membuka mata, perlahan seberkas cahaya langsung menyambut kedua mataku. Dengan sekuat tenaga aku mencoba
berdiri dan mengingat akan semua yang terjadi. Ketika aku tersadar, aku berada
di antara keramaian orang yang saling menyerang. Aku pun langsung tiarap dan
berteriak dengan keras.
“Tolong…tolong….
Saya takut!” Semua langsung berdiam dan mengamatiku. Lebih sialnya tiba-tiba
hujan turun sangat deras. Semua orang langsung berlarian menuju bangunan yang
menurutku mirip rumah adat Papua. Sedangkan aku hanya gelagapan dan kebingungan
harus kemana dan bagaimana. Lalu ada
seorang berbadan besar berlari kearahku dan langsung membawaku ke suatu tempat.
Yang ternyata tempat itu adalah kediaman kepala suku Sutera, sesampainya disana
aku dipertemukan dengan kepala suku Sutera yang didampingi oleh penasehatnya.
“Hei
Ali, siapa yang kaubawa?” Tanya kepala suku.
“Dia
orang yang kutemukan ketika perang suku kita dengan suku Murai berlangsung.”
Jawab Ali.
“Kau
kelihatannya lapar nak, bagaimana kalau kita berbincang-bincang sambil
menikmati hidangan? Kebetulan kami mengadakan pesta kemenangan perang.” Ucap Raja padaku.
Aku
pun mengiyakan ajakan Raja, karena kebetulan sebelum ke perpustakaan tadi aku
belum makan apapun.
“Hai Anak muda, bagaimana menurutmu tentang
perang yang terjadi antara suku Sutera dengan suku Murai tadi?” Tanya Raja
padaku, aku langsung gelagapan mendapat
pertanyaan itu, karena aku tak mengetahui apa yang terjadi.
“Itu
yang Mulia, sejujurnya saya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi
disini, Bisakah saya diberi tahu kebenaran disini?” Tanyaku sedikit gugup. Sang
Raja pun menyuruh penasehatnya untuk menceritakan perihal perang tadi.
“Di
desa ini dipisahkan oleh sebuah sungai menjadi dua wilayah, wilayah pertama
adalah di sini yaitu yang didiami suku
Sutera, sedangkan wilayah yang lain ditempati suku Murai. Suku kami dan suku
Murai memiliki mata pencaharian yang sama yaitu pertanian. Kami menanam tanaman
yang membutuhkan air hujan yang banyak yaitu padi, sedangkan suku Murai menanam
tanaman yang membutuhkan air yang sedikit yaitu tebu. Setiap kali kami
mengadakan upacara untuk menurunkan hujan, suku Murai juga mengadakan upacara
untuk menangkalnya. Ini selalu menjadi perbedaan suku kami, hingga kami
memutuskan untuk berperang agar salah satu dari kami akan kalah dan pergi dari
desa ini.” Jelas penasehat Raja Sutera yang juga memperkenalkan diri sebagai Ki
Arya.
Aku menghela nafas panjang, mulai tahu jalan pikiran
penasehat ini, dari raut mukanya dia terlihat tak menyukai kedatanganku.
“Baiklah
Raja, saya mulai paham dengan cerita di desa ini. Sebelumnya perkenalkan nama
saya Riza, mahasiswa di jurusan pertanian kota Bogor. Saya sangat paham tentang
pertanian dan menurut saya alasan kalian berperang itu sangat tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin kita seorang manusia menentukan kapan hujan atau tidak
padahal itu sudah kehendak sang Pencipta. Kalian seharusnya sadar bahwa air itu
datangnya tidak dari hujan tapi bisa juga dari sumur.” Jelasku dengan semangat.
Semua
orang yang ada disana saling pandang dan Raja pun berbicara, “Apa itu
mahasiswa? Lalu apa lagi itu sumur? Kami tak pernah mendengar itu semua.”
“Ya
Allah ini apa sih?”pikirku.
“Baiklah saya akan menjelaskan semuanya, mahasiswa
itu adalah seseorang yang menuntut ilmu dari seseorang yang sudah sangat ahli
dalam sesuatu, kalau sumur itu sumber air dari tanah yang digali dengan
kedalaman tertentu.” Jelasku kesal.
Mendengar
penjelasanku penasehat yang bernama Ki Arya mendekati Raja dan membisikkan
sesuatu, namun aku masih mendengar dengan samar perkataan Ki Arya Kepada Raja
bahwa aku dituduh hanya mengada-ada. Setelah itu aku langsung angkat bicara.
“Baiklah
Raja kalau semua yang disini masih bingung aku meminta izin untuk mengadakan
musyawarah antara suku Sutera dengan suku Murai, bagaimana?” Bujukku.
“Itu
hanya menyebabkan perang, Nak. Percayalah padaku.” Jawab penasehat dengan wajah
tak sukanya padaku.
“Saya
yang akan mengurusi semua masalah musyawarah dan saya akan menjamin tidak akan
terjadi hal seperti itu. Jika terjadi peperangan di musyawarah itu Raja boleh
menghukumku.” Entah kenapa muncul keberanian yang konyol di mulutku padahal aku
tidak mengenal siapa-siapa disini.
“Baiklah
Nak, aku percayakan padamu, lagipula aku sebenarnya juga tak menyukai perang.” jawab Raja.
“Tapi
Raja…..” Ki Arya menyela namun dihentikan Raja.
“Saya
akan mengurus semuanya segera dan sekarang saya mohon undur diri.” Pamitku.
Aku pun segera bergegas menuju suku
Murai, ternyata di suku Murai aku juga disambut sama baiknya dengan di suku
Sutera. Setelah aku selesai berdiskusi di suku Murai aku memahami beberapa hal,
yang pertama di suku Sutera aku melihat satu orang yang tak menyukaiku dan terang-terangan menolak usulanku yaitu Ki Arya dan di suku Murai aku juga menemukan orang yang sama
yaitu Nyi Siti. Aku mulai berpikir keras
kenapa keduanya seperti itu. Waktu makin malam dan aku memilih tempat istirahat
di antara kedua lahan pertanian kedua suku dan tidur di dekat sungai. Ketika
malam telah larut aku belum juga bisa tidur, tapi tak sengaja kudengar ada orang
yang sedang berbincang di tepi sungai yang seberang. Aku pun semakin mendekat
dan mendengarkan apa yang sedang mereka perbincangkan, ternyata mereka membahas
kedatanganku ke suku Murai dan suku Sutera. Aku semakin seksama mendengarkan
dan dengan jelas membahas rencana jahat untuk secepat mungkin menghancurkan
kedua suku, tapi sayangnya aku tak dapat mengenali kedua orang tadi, yang aku
ketahui mereka laki-laki dan perempuan.
Keesokan harinya musyawarah pun
dilaksanakan aku menjelaskan apa yang sudah aku jelaskan kepada kedua suku dan
akhirnya keduanya menyetujui untuk membuat sumur. Dan aku di tunjuk menjadi
mandor proyek ini, disisi lain Ki Arya dan Nyi Siti terlihat sangat marah. Setelah musyawarah aku
langsung memimpin warga dari kedua suku untuk menggali tanah dimulai di wilayah
Murai kemudian ke daerah Sutera. Dalam waktu seminggu kedua sumur telah jadi
maka diadakanlah pesta bersama.
“Kita
telah menyelesaikan sumber air kita, sebaiknya kita namai apa ya?”ungkap Raja Sutera.
“Oh
iya juga, kita harus punya nama yang bagus untuk sejarah di desa kita,
bagaimana menurutmu Za? kamukan pencetus semua ide ini.” Jelas Raja Murai.
“Menurut
saya bagaimana jika dinamakan “sumur” kepanjangan dari Sutera Murai.” Jawabku
spontan karena memang di zamanku galian tadi adalah sumur.
“Baiklah
mari kita makan untuk merayakan ini semua.” Ajak Raja.
Seminggu setelah penggalian
sumur, semua berjalan sesuai rencana dan perkiraanku, hujan turun tapi tebu
tetap hidup dan kemarau datang tapi padi tetap mendapat air dari sumur, namun setelah
3 bulan berlalu entah kenapa tanaman di kedua suku mati semua. Aku begitu
terkejut dan langsung menuju sawah, di sawah ternyata tanaman mati kering. Aku
semakin bingung, kemudian melihat sumur di kedua suku dan tak kusangka sumur di
kedua suku kering tak berair. Aku tak bisa memahami bagaimana bisa sumur kering
padahal sungai di sampingnya masih mengalir dengan deras. Di dekat sumur aku
menemukan sesajian, aku berpikir keras kenapa ada benda seperti ini disini dan
siapa yang melakukanya. Maka aku membawa barang bukti tadi dan segera
mengumpulkan kedua suku.
“Baiklah,
saya mulai musyawarah ini. Saya tak mengerti kenapa semua ini terjadi.” Mulaiku.
“Bagaimana
ini Za? Tanaman kita mati semua, kita mengalami paceklik semua karenamu, kamu
harus tanggung jawab Za.” Teriak salah seorang Murai dan ditimpali semua yang
hadir di musyawarah.
“Tenang,tenang!
Saya telah menyiapkan kemungkinan terburuk dari ini semua, air kita sangat
melimpah salah satunya di sungai, kita dapat mengalirkan air dari sungai dengan
cara membuat jalur sungai kecil atau anak sungai ini di zaman saya disebut
irigasi, bagaimana usul saya?” Tanyaku.
“Setuju!!
Tapi Za kalau kita mengalami hal yang sama kamu harus di hukum.” Jelas
seorang warga sutera.
“Iya,
aku mengerti. Aku sudah mendapat satu barang bukti siapa yang telah
mengeringkan sumur.” Terangku pada semua. Dengan disetujuinya usulku musyawarah
pun ditutup dan keesokan harinya proyek kedua dilaksanakan dan sukses. Aku
mulai mengusut masalah sumur dengan membawa sesajian yang kutemukan ke suku
Murai dan suku Sutera untuk kutanyakan siapa yang memiliki sesaji ini. Sangat
mencengangkan ternyata yang biasa menggunakan sesaji adalah Ki Arya dan Nyi
Siti tapi yang mana yang menjadi pelaku? Maka dengan diam-diam aku
mempertemukan Raja Sutera dengan Raja Murai.
“Sebelumnya
maaf mengganggu kesibukan paduka Raja, saya ingin menyampaikan sesuatu yang
sangat penting. Langsung saja…...” aku menjelaskan semua yang aku alami tentang
kecurigaanku pada Ki Arya dan Nyi Siti.
“Tidak
mungkin, mereka adalah penasihat yang paling aku percaya!” Jawab Raja Sutera
tak menyangka begitu juga Raja Murai yang telihat lebih syok.
“Baiklah
jika kalian belum percaya, nanti malam adalah malam Jumat dimana kejadian aneh
selalu terjadi di desa kita, nanti malam kalian ke dekat sungailah. Aku akan
menunggu disana, kita akan membuktikan apa yang sering saya lihat.” Usulku.
“Baiklah,
kami akan berangkat tanpa pengawal agar tidak ada yang curiga.” Jawab Raja Murai
yang sudah mau angkat bicara.
Malamnya kami berkumpul di dekat
sungai di tempat biasa aku tidur, beberapa menit berlalu ternyata benar ada
suara orang bercakap-cakap, kami pun mendengarkan dan mulai mendekat ke sumber
suara. Ternyata benar itu adalah Ki Arya dan Nyi Siti sedang menebar sesuatu di
sawah dan sungai, kami pun segera memergoki mereka dan menangkap mereka. Betapa
kecewanya Raja ternyata kedua penasihat yang sangat dipercaya ternyata yang
menyebabkan kedua suku berperang.
“Kalian
sangat mengecewakan kami, kenapa kalian berkhianat padahal kami telah sangat
baik pada kalian?” Tanya Raja Sutera.
“Ampuni
kami Raja, sebenarnya kami berencana menguasai desa ini, kami ingin kalian
pergi dari sini dengan membuat kalian saling serang, tapi malah Riza datang dan
membuat kalian berdamai. Kami ingin melenyapkan Riza juga, jadi kami melakukan
ini semua. Tapi kami sekarang menyesal, ampuni kami Raja.” Jelas Ki Arya.
“Tidak
kalian akan tetap jadi penghianat, kalian harus pergi dari desa ini sekarang
juga dan jangan pernah kembali.” Raja Murai dan Raja Sutera mengusir Ki Arya
dan Nyi Siti. Akhirnya mereka pergi
dengan meminta maaf padaku lebih dulu.
Keesokannya diadakan penggalian
sumur baru dan penutupan sumur lama, diadakan kesepakatan akan diadakan
penggalian sumur baru dan penutupan sumur lama setiap satu tahun sekali yang
bertetapan dengan diusirnya Ki Arya dan Nyi Siti yang menandai penutupan masa
lalu kedua suku yang saling serang dan membuka lembaran kekeluargaan di desa
yang baru. Di tahun ketiga diadakan pesta panen raya karena hasil panen yang
sangat melimpah, di tengah pesta Raja Murai dan Raja Sutera meminta perhatian
semua warga.
“Mohon
semua warga berkumpul disini, kami ingin menyampaikan sesuatu yang sangat
penting. Desa kita mengalami kemajuan yang pesat dan panen melimpah di karenakan
adanya sumur yang digali di desa kita dan kita ketahui sumur tersebut adalah
jasa dari Riza, maka disini saya dan Raja Murai akan mengangkat Riza menjadi
penasehat desa, dimohon Riza menuju kesini.” Kata Raja Sutera.
Aku
pun mendekat ke kerumunan dan mendekat ke Raja Murai dan Raja Sutera. Raja pun
mengalungkan bunga di leherku dan menyalamiku. Ketika Raja sutera memakaikan
mahkota penasehat desa, aku memejamkan mata, aku menunggu mahkota itu menempel
di kepalaku tapi tak juga kurasakan hingga ada sebuah tangan yang
menepuk-nepukku, aku pun membuka mata
dan kaget bukan kepalang ternyata aku
ada di perpustakaan baru dibangunkan oleh penjaga perpustakaan karena
perpustakaan akan tutup.
Aku masih mengambang di antara
yakin bahwa yang kualami tadi adalah sejarah pembuatan sumur atau hanya sebuah
mimpi belaka, tapi yang terpenting dari mimpi yang kualami tadi adalah aku
mendapatkan judul skripsiku, “Pola Irigasi Sawah Menggunakan Sumur pada Daerah
Tandus.”
0 komentar:
Posting Komentar